nblindonesia.com - 23/09/2011
Seangkatan Soetjipto Soentoro, Emban Misi Kebudayaan Era Soekarno
Willy Winoto,Asisten Manajer Pacific Caesar yang Mantan Pemain Timnas Sepak Bola
PENGABDIAN dan loyalitas Willy Winoto kepada Pacific Caesar Surabaya memang mengagumkan. Tahun ini, sudah hampir 31 tahun, Willy berada di klub tersebut. Bapak dua anak ini pernah menjadi pemain sekaligus pelatih Pacific. (
AINUR ROHMAN, Malang)
WIilly Winoto menjadi saksi kejayaan Pacific. Itu terjadi ketika mereka masih bermain di kasta tertinggi bola bakset waktu itu, Kobatama. Namun, saat ini tidak ada yang mengalahkan kegembiraannya ketika Pacific akhirnya kembali masuk kasta tertinggi basket nasional, Flexi NBL Indonesia.
’’Saya sudah sepuluh tahun menantikan hal ini. Setelah tim terdegradasi pada 2000, mimpi kami hanya ingin ke level teratas. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih atas kesempatan ini,’’ kata Willy di Malang kemarin (22/9).
Sosok pria 70 tahun ini sangat unik. Selama ini, dia hanya dikenal sebagai dedengkot basket nasional.
Namun, siapa sangka, Willy merupakan mantan penjaga gawang tim nasional sepak bola Indonesia pada awal 1960-an. Di Pasukan Garuda, julukan timnas Indonesia, pria bernama Tionghoa Lie Tying Siam itu menjadi cadangan penjaga gawang legendaris Indonesia Yudo Hadianto. Willy juga seangkatan dengan pemain-pemain besar seperti Soetjipto Soentoro, Bob Hippy, M. Basri, dan Sinyo Aliandoe.
’’Saya juga seangkatan dengan striker Persebaya Surabaya Anjik Ali Nurdin. Dia striker paling hebat yang saya temui. Nggak ada yang seperti dia. Tidak ada duanya, shooting-nya, juga kocekannya. Saya beruntung bisa bermain dengan dia,’’ tutur Willy.
Sebelum menjadi kiper, Willy bermain di posisi sayap kanan. Dia belajar bermain sepak bola karena bersekolah di SMA Katholik Balung, Jember. Sebab, suami Tan Hong Ing tersebut tidak punya pilihan lain.
Basket yang menjadi ’’cinta pertamanya’’ tidak populer di sekolah tersebut. Padahal, Willy sudah mengenal basket sejak usia 10 tahun dari SD Tionghoa Cong Hwa Siok Siaw di Jember.
Kondisi politik zaman Soekarno mewajibkan Willy yang saat ini memiliki dwi kenegaraan memilih satu status. ’’Akhirnya, saya memilih menjadi warga Indonesia. Otomatis saya keluar dari sekolah awal saya dan juga dari basket. Karena bisa basket, saya akhirnya menjadi penjaga gawang. Karir saya maju pesat,’’ kenangnya.
Dasar berbakat. Ganti cabang olahraga tidak membuatnya canggung.
Menggeluti sepak bola dan bergabung dengan klub Indonesia Muda Jember, talenta Willy terendus oleh PSSI. Dia dipanggil memperkuat timnas.
Tugasnya tidak hanya bermain bola. Te tapi juga mengemban misi kebudayaan untuk mengenalkan dan memperkuat citra Indonesia pasca direbutnya Irian Barat pada 1962 dari tangan Belanda.
Bersama pemain bintang pada zamannya, Willy berkeliling ke banyak negara. Terutama negeri-negri sosialis. Antara lain Hungaria, Belanda, Jerman Timur dan Barat, Bulgaria, Myanmar, dan sebagainya.
’’Waktu itu kalau sudah membela Indonesia rasanya mati-matian di lapangan. Kalah sampai menangis. Bhineka Tunggal Ika itu sakral,’’ tegasnya.
Namun, karir sepak bola ternyata tidak panjang. Pada 1967, Willy memutuskan ’’bekerja normal’’.
Mulai dari pengawas hotel sampai kerja di pabrik beras. Alasannya, sepak bola sudah tidak menarik dan tidak bisa menghidupi keluarganya.
Pada 1976, bapak dua anak itu pindah ke Surabaya. ’’Empat tahun kemudian saya bergabung ke Pacific. Sampai sekarang. Setelah bola, hasrat saya pada basket ternyata tumbuh kembali,’’ tandasnya.
Sumber : nblindonesia.com