Pemain tim putra DBL All Star 2013 Rioga Deswara melihat-lihat dari dekat bangunan jembatan Golden Gate, San Francisco, Amerika Serikat. (Foto: Hendra Eka/Jawa Pos)
NAMANYA Rioga Deswara. Ia biasa dipanggil dengan Yoga. Dengan tinggi hanya 165 cm, ia sempat mengejutkan di camp bola basket SMA terbesar se-Indonesia, DBL Camp 2013, Juli lalu di Surabaya.
Banyak point guard yang berpostur lebih tinggi, namun lima pelatih asal Australia (Andre Vlahov, Shane Froling, CJ Jackson, Rob Beveridge, dan Mark Heron) lebih memilih Yoga masuk 14 kandidat All-Star. Yoga pun akhirnya masuk skuat inti dan sekarang menimba ilmu bola basket di Sacramento.
Tak banyak yang tahu kalau Yoga bekerja keras melawan segala keterbatasan. Dia anak bungsu dari sembilan bersaudara pasangan Anton Sutardi dan Diarty.
Sang ayah, bekerja sebagai buruh di kota Kandis, 2 jam perjalanan dari Pekanbaru. Sedangkan ibu bekerja di sebuah penata event (EO).
"Saya sendiri tidak tahu oom, ayah bekerja sebagai buruh apa. Beliau ikut orang. Saya sangat jarang bertemu," ucap Yoga, saat saya kontak via BB messenger temannya di Sacramento, Rabu (6/11).
Menurut pelatih tim basket Popnas Riau, Aulia Iyot, Yoga termasuk beruntung mengarahkan liarnya kehidupan ke bola basket.
"Ibarat di jalanan, untunglah dia positif ke bola basket. Hidupnya dari satu lapangan ke lapangan lain," ucap Aulia.
Karena dibesarkan di jalanan, gaya bermain Yoga sangat berani. Ia mengatasi postur pendek dengan permainan cepat dan berani. "Saya harus bekerja keras agar bisa eksis dan tidak dianggap enteng di lapangan basket," kata pria kelahiran 9 Desember 1996 ini.
Garis tangan dan skill tinggi, membuat lima pelatih Australia memberinya kesempatan ke AS, 3-12 November ini. "Ini memang rezeki Yoga, sekalinya ke luar negeri langsung ke Amerika," ungkap pelajar SMA Cendana Pekanbaru, Riau.
Ingat Keluarga
Sebagai remaja, pergi ke AS seperti sebuah keajaiban. "Tuhan memang baik dan memberi saya kenikmatan ini. Ini bonus karena saya tidak terjun ke dunia hitam dan memilih kegiatan bola basket," ucap penggemar Jason Williams dan Jason Kidd ini.
Banyak yang ingin dibeli di AS, namun ia juga sadar diri. "Saya diberi bekal 163 dolar oleh mama. Saya ingin membelikan ayah dan mama baju. Mama saya tambahi sepatu," ucap pengagum Tony Parker (Spurs). Yoga tidak berbohong sebab kebetulan uang saku itu nitip ditransfer ke rekening anak saya.
"DBL juga memberi uang jajan 200 dolar, oom. Untuk saudara yang lain, saya belikan kaos dan sedikit kue Amerika. Biar mereka ikut merasakan," ucap Yoga.
Bagaimanakah dengan dirimu sendiri? "Yoga ingin beli sepatu basket untuk kenang-kenangan. Cari yang murah saja oom, Hyperdunk 2012, yang kebetulan sedang diobral. Yoga juga beli sepasang kaos kaki dan sepatu jalan. Cukup semuanya oom," tambah Yoga.
Mimpi Yoga untuk bermain di lapangan milik tim NBA juga akan kesampaian. DBL All-Star akan dijamu tim SMA setempat di Sleep Train Arena, kandang Sacramento Kings. Mereka pun bertanding melawan SMA di Lake Tahoe, sebelum bermain-main dengan salju di sana.
Mimpi mereka untuk bersekolah setinggi langit, terus ditanamkan dengan mengunjungi dua, Universitas Sacramento State dan UC Davis. Bonus terbesar di hari-hari terakhir adalah nonton gim NCAA dan NBA (Sacramento Kings vs Portland Trail Blazers).
"Saya seperti mimpi. Namun, ternyata semuanya nyata," ucap Yoga, menutup pembicaraan.
Saya jadi teringat kata-kata yang diucapkan Tom Hanks sebagai pemeran Forrest Gump, yang memberikan hadiah Oscar. "...hidup itu seperti sekotak coklat. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan kamu dapatkan. The world will never be the same.."
Semua jadi nyata berkat kerja keras, disiplin, dan mental baja. Proud of you, Yoga.
Story Provided by Eko Widodo - BOLA