Untuk Menggapai Sukses Diperlukan Proses - Coach Suryo, Dua tahun berturut-turut saya asyik belajar
aplikasi pendidikan progresif dari kompetisi bola basket pelajar SMA
bernama Honda DBL. Bukan karena pembuat liga ini seorang Azrul Ananda,
seorang teman lama yang penggila bola basket, balap Formula 1, dan
sekarang lagi keranjingan bersepeda. Namun, saya melihat beberapa
konsep pendidikan diaplikasikan dengan nyata, konsisten, dan disiplin
di DBL Jakarta khususnya.
Peraturan DBL 2013 tegas mengatakan, pemain pindahan tidak boleh
bermain. Yang pernah tinggal kelas, jangan coba-coba mendaftarkan diri.
Sebab, dilarang keras siswa tak naik kelas bermain di DBL. Pelajar
yang mendapatkan benefit dari kemampuan bermain basket dilarang keras.
Beasiswa pendidikan dengan nilai maksimum Rp 5 juta/tahun, masih
diizinkan.
Dalam koridor pendidikan, apa yang dilakukan DBL dengan menerapkan
disiplin ketat akan memberikan pengalaman sangat dalam kepada para
peserta. Para peserta juga diajari mendapatkan privilese sekaligus
konsekuensi. Tim putra favorit, SMA 36, harus merasakan konsekuensi
setelah mereka harus kalah WO karena jumlah pelatih mereka tidak
memenuhi persyaratan panitia, meski pemain sudah hadir di lapangan!
John Dewey, seorang pakar pendidikan progresif, berpendapat bahwa
pendidikan itu sebisa mungkin memberi kesempatan untuk belajar secara
perorangan. Dewey juga mengatakan bahwa pendidikan progresif itu juga
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar lewat pengalaman
(learning from experience). Pengalaman itu bisa yang menyenangkan, atau
yang pahit sekalipun.
Bicara masalah pengalaman, saya teringat pada sebuah buku yang
ditulis seorang Doktor pendidikan dari Thailand, Dr. Rung Kaewdang.
Rung menulis buku "Belajar dari Monyet"/Learning from Monkeys (Khruu
Somporn Kon Son Ling). Dr. Rung menawarkan merevolusi pendidikan di
Thailand dengan belajar dari Khruu (guru) Somporn, anak petani yang
hanya mengenyam pendidikan rendah, dan mengajar di Akademi Pelatihan
Monyet. Meskipun Khruu Somporn berpendidikan rendah, oleh Dr. Rung
prestasinya bisa disejajarkan dengan salah satu tokoh pendidikan di
Thailand yang memiliki sederet gelar.
Dr Rung dalam pendahuluan buku itu menulis "Saya sangat terkesan
dengan metodologi dan prinsip-prinsip psikologi yang digunakan Khruu
Somporn. Meskipun saya pribadi sudah meraih gelar doktor dalam bidang
pendidikan dan mempunyai pengalaman mengajar yang luas, saya merasa
tidak dapat
dibandingkan dengan dia dalam cara mengajar siswa-siswanya."
Khruu Somporn mendidik monyet-monyet liar agar bisa menjadi mitra
yang andal para petani di Thailand Selatan dalam memetik kelapa. Kelapa
adalah salah satu komoditas pertanian andalan Thailand. Perlu
kecepatan dan kemampuan sortasi yang tepat saat di atas pohon untuk
menentukan sebuah kelapa sudah tua dan siap dimanfaatkan.
Manusia memang memiliki kemampuan memilih kelapa yang sudah matang.
Namun, untuk memanjat ribuan pohon di areal yang sangat luas, hampir
mustahil mengandalkan tenaga manusia. Beberapa hal yang mengesankan
bagi Dr. Rung pada Khruu Somporn antara lain:
1. Khruu Somporn tak pernah menolak calon siswa. Ia pun tidak pernah
mengeluarkan siswa dari sekolah. Somporn menerima murid tanpa test,
dan tidak ada ujian.
2. Karena Khruu Somporn pengikut Buddha yang taat, pengajarannya
didasarkan pada rasa kasih sayang. Teknik-teknik mengajarnya sangat
dipengaruhi oleh pemikiran pengikut Buddha.
3. Khruu Somporn mengajar sambil bermain dan belajar dalam suasana
yang menyenangkan. Dia mengajar menggunakan hati dalam menjalin
komunikasi dan menjalin kepercayaan dengan para murid.
4. Khruu Somporn membangun kurikulum berdasarkan kebutuhan hidup dan
kerja para siswa. Hakikat dari kurikulumnya adalah mampu menjawab
hal-hal yang berkaitan dengan perilaku maupun moral.
Kalimat yang sering disampaikan oleh Dr. Rung adalah "Kalau monyet
saja bisa, kenapa anak-anak kita tidak?" Ya, monyet liar ternyata bisa
dididik menjadi pemetik kelapa, memilih yang layak dipetik, dan bukan
sekadar mengumpulkan dan mengangkut kelapa.
Dipaksa Disiplin
Lewat aturan yang keras, DBL sukses memberikan pendidikan progresif
kepada setiap peserta. Reward yang diberikan memang luar biasa. Harkat
dan kebanggaan pebasket SMA diangkat sedemikian tinggi lewat kemasan
pertandingan yang wah dan impian ke Amerika Serikat maupun Australia
jika bisa melewati tahapan yang panjang nan terjal.
Kompetitor event DBL memang banyak. Selain kompetisi antarklub dan
antar SMA, turnamen-turnamen yang melibatkan para pelajar itu banyak,
khususnya di DKI. Namun, jika ditanya yang manakah paling prestis,
mereka sepakat bersuara: DBL.
Bagaimanakah anak-anak itu belajar sehingga di mindset mereka hanya
ada satu kata "DBL mindset"? Stella Vosniadou, ahli kognitif, psikologi
perkembangan, dan pendidikan, menulis dalam buku "How Children Learn",
beberapa hal cara belajar anak. Ada 12 poin yang ia sebutkan seperti
keterlibatan aktif, peranserta/partisipasi sosial, kegiatan yang
berarti, hingga ke menciptakan
pelajar yang termotivasi.
Pelajar-pelajar yang termotivasi mudah dikenali karena mereka itu
mempunyai keinginan besar untuk meraih tujuan-tujuannya. Mereka pun
siap mencurahkan seluruh upaya. Para pelajar itu juga menunjukkan
kebulatan tekad dan ketekunan yang sungguh-sungguh. Hal itu akan
mempengaruhi jumlah dan kualitas hal-hal yang dipelajari.
Kebetulan, dua tahun berturutan anak saya ikut berkompetisi di DBL
Jakarta. Saya merasakan, betapa ia termotivasi untuk bisa berkontribusi
tertinggi bagi timnya SMA 3 Teladan. Di final tahun lalu, cedera
engkel kiri tak menghalanginya tampil lugas di final melawan SMA 116,
dengan hasil juara. Ia meringis kesakitan, saat kakinya saya kompres es
di rumah, sambil terus memegangi medali juara, dan dibawa sampai
tidur.
Di tahun 2013, kali ini ia cedera engkel kanan. Ia tak bisa tidur
sampai subuh karena gagal membawa SMA 3 ke babak berikutnya. Bekas air
mata masih nampak, selain bengkak di engkel kanan, saat saya mengelus
keningnya untuk pamit berangkat kerja subuh-subuh. Lima hari kemudian,
saat ia diberi kaos sebagai anggota DBL Jakarta First Team 2013, saat
saya elus keningnya lagi, ia tidur dengan wajah bahagia dengan kaos itu
dilipat rapi di samping kasurnya. Mungkin saja, ia lagi asyik bermimpi
pergi Seatle atau Aussie!
Herbert J. Walberg dan Susan J. Paik, dua pakar pendidikan dari
UNESCO, mengatakan bahwa memberikan pengalaman hidup adalah
praktik-praktik dalam pendidikan yang efektif. Lewat pengajaran
langsung, belajar bekerjasama, pendidikan yang adaptif, dan
keterlibatan orangtua, anak-anak akan menemukan cara belajar yang
mangkus (efektif).
Belajar menjadikan dirinya berguna dan berkontribusi, adalah sisi
positif yang diperoleh anak saya dari kompetisi Honda DBL. Pembelajaran
seperti itu tidak bisa diperoleh dari kelas reguler manapun. Tanpa
ragu-ragu, saya berterima kasih kepada bung Azrul Ananda, Yondang
Tubangkit, dan para kru DBL Indonesia, yang begitu konsisten memberikan
pelajaran bahwa sukses itu adalah sebuah proses.
Di saat budaya instan, akibat gelontoran era digital yang dahsyat
menggulung para pelajar Indonesia, masih ada para pembelajar olahraga
berdiri tegak menjaga disiplin dan komitmen. Untuk sukses memang
diperlukan proses.
Story provided by DR. Eko Widodo, S.TP., M.M.
*penulis adalah penikmat bola basket; doktor olahraga dari Universitas Negeri Jakarta
Artikel ini juga dimuat di bolanews.com