Maria Serenade Sinurat
Indonesia mungkin sudah melupakan Sin Kim Lai (52). Namun, dia menunjukkan bahwa negara yang pada masa lalu mendiskriminasikan dirinya inilah satu-satunya tempat dia bersandar. Lewat dunia bola basket, dia tunjukkan pengabdiannya.
Kim Lai muda adalah tulang punggung tim nasional bola basket di berbagai kejuaraan internasional. Dengan tinggi 184 sentimeter, dia menjadi center tangguh di lapangan tengah, baik ketika menyerang maupun bertahan.
Kala itu tahun 1978. Pembedaan terhadap warga keturunan Tionghoa masih kental. Pengurusan kewarganegaraan yang bertele-tele membuat dia gagal mendapatkan paspor untuk berangkat ke Kejuaraan Bola Basket Yunior Asia di Malaysia. Baru setahun kemudian, kekecewaan itu terbayar saat dia kembali diturunkan dalam SEA Games 1979 di Jakarta.
Basket menjadi pusat kehidupan Kim Lai. Selepas pensiun sebagai pemain tahun 1983, dia memutuskan menjadi pelatih. Lewat tangan dinginnya, dia membawa Jawa Timur merebut medali emas PON XIV (1996), juga perunggu bagi Indonesia pada SEA Games XIX di Jakarta (1997).
Kim Lai mencetak rapor biru sebagai pemain dan pelatih di tingkat nasional. Meskipun demikian, dia bermimpi memiliki klub dan gedung olahraga sendiri untuk mencetak atlet dari kampung halamannya, Blitar.
Mimpinya sejak 13 tahun lalu itu terwujud jua. Kim Lai kini memiliki klub basket dan gedung olahraga yang dinamai Pelangi. GOR berkapasitas 1.000 penonton itu berdiri tahun 1997 berkat donasi dan tabungan ayah empat anak ini.
GOR juga dilengkapi kantin dan mes untuk lima atlet binaannya. Kim Lai menyokong penuh kehidupan mereka. ”Mereka berasal dari keluarga ekonomi sulit. Saya ingin atlet miskin berani berprestasi,” ujarnya. Untuk mencari atlet, Kim Lai tak segan masuk-keluar kampung.
Membina klub kecil adalah perjuangan sulit dengan investasi besar. Jika seorang anak dibiayai Rp 300.000 per bulan, itu berarti Kim Lai mesti merogok kocek Rp 3,6 juta setahun. Padahal, untuk mencetak atlet setidaknya butuh waktu 4–5 tahun. Bayangkan jika ada lima anak yang dibiayai.
Ada rasa bangga Kim Lai saat dua binaan Klub Pelangi, Legal Mahardika dan Bima Rizky, memperkuat tim basket profesional Bimasakti Nikko Steel Malang. Perpindahan keduanya sempat bermasalah karena uang transfer pemain yang diberikan tidak sesuai yang dijanjikan. ”Beginilah nasib tim kecil, kami bisa apa,” ujar Kim Lai.
Anak miskin
Keuletan Kim Lai membina atlet terkait dengan kehidupan masa kecilnya. Dia anak ke-12 dari 13 bersaudara buah pernikahan Sin Sin Sing dan Sie Gie Nio. Karena keturunan Tionghoa, ayahnya tidak boleh bekerja formal. Untuk menghidupi keluarganya, sang ayah menjemur kelapa, sedangkan ibunya menjual makanan ringan.
Kemiskinan menjadi keseharian Kim Lai. Dia bersekolah tanpa alas kaki karena tak memiliki sepatu. Sepulang sekolah, dia menjajakan stiker, layang-layang, juga onde-onde untuk membantu keluarga. Sering kali dia dan saudaranya hanya melahap nasi dengan garam dan parutan kelapa karena tak sanggup membeli lauk-pauk.
Segala kesulitan hidup terasa lenyap saat Kim Lai mengenal basket. Dia menemukan hal yang membuat hidupnya berarti. Secara sembunyi-sembunyi dia berlatih dengan klub Sahabat agar tidak ketahuan orangtuanya. Di pikiran ayahnya, olahraga tidak menjamin kesejahteraan.
Tetapi, tekad Kim Lai sudah bulat. Memasuki usia 16 tahun, dia mendaftar ke klub basket Halim Kediri yang berjarak 63 kilometer dari Blitar. Setiap hari dia bolak-balik Blitar-Kediri hingga sering kali pulang larut malam karena menunggu kendaraan umum.
Hati orangtuanya luluh melihat kesungguhan Kim Lai. Masuk ke klub Halim Kediri pun membuka kesempatan yang lebih luas bagi kelanjutan kariernya. Kecanduan akan basket begitu kuat, sampai dia lupa bagaimana mempersiapkan masa depannya sendiri.
Kegelisahan itu meruyak saat kariernya tengah berada di puncak. Seusai SEA Games 1979, Kim Lai berniat mundur selamanya dari basket. ”Ini Indonesia. Kita jadi atlet bisa makan apa?” kenangnya.
Kala putus asa itulah, penolong datang tanpa diduga. Seorang pembina basket memberinya modal satu kilogram emas tanpa mengharapkan imbalan. Emas itu diuangkan dan dipakai untuk membuka toko alat-alat olahraga bernama Toko Sport 12, di Jalan Tanjung, Blitar.
Toko yang berdiri di tepi jalan itu dulu hanya berukuran 6 x 6 meter, dan sekaligus menjadi tempat tinggalnya. Dengan bantuan istrinya, yang juga mantan atlet, Oenarni Tjakrakusuma, toko itu bertahan.
Bukan sekadar nama
Di antara saudaranya, hanya Kim Lai yang tidak mengubah namanya. ”Saya percaya, nasionalisme bukan sekadar nama, tetapi bagaimana kita bekerja dan berkarya,” ujar penyuka kesenian wayang kulit ini.
Kim Lai teringat sang ayah yang berjuang dengan caranya sendiri agar keluarganya bertahan hidup. Perjuangan itu yang diteruskan Kim Lai melalui olahraga basket. Dia mendorong keempat anaknya untuk mencintai negeri ini dengan cara berprestasi. Putrinya, Ivonne Febriani Sinatra, meraih perak dalam ASEAN School Sport Games 2009 di Thailand.
Di mata Kim Lai, melalui olahraga seorang warga negara dari etnis dan kelas sosial mana pun berkesempatan sama untuk berprestasi.
Katanya, sistem pembinaan olahraga di Indonesia kini seperti menjadi milik pengurus elite yang hanya ”menumpang hidup” dari organisasi. Banyak pengurus olahraga yang lebih banyak berbicara ketimbang bekerja.
Kim Lai selalu bersikap vokal dan kritis terhadap kebijakan olahraga sehingga banyak orang yang tidak menyukainya. Seorang pengurus olahraga juga pernah menegurnya karena dia dinilai terlalu jujur. ”Saya katakan, kalaupun sikap jujur saya akhirnya membentur tembok, saya memilih untuk membentur dan menembusnya,” katanya.
Kekerasan hati ini yang justru mendorong Kim Lai melakukan hal-hal nyata. Meski banyak yang melupakannya, orang-orang di Kota Blitar mengenalnya dengan baik sebagai ”pahlawan kota” yang senang
nyeker ke mana-mana.